Mutiara di garis khatulistiwa itu bernama Nusantara…
Saat mentari pagi menyinari bumi…
Kau anggun menari bagai bidadari…
Bak perawan menawan mempesona segala bangsa…
Mereka pun berduyun ingin meminangmu …
Menikmati indahnya panoramamu …
Bermandi semburat cahya purnama…
Hangatkan jiwa & raga …
Puaskan hasrat nikmati karunia ilahi…
Kau kandung kekayaan tiada tara…
Emas, perak, intan permata penuhi perut bumimu…
Mutiara berkilauan bertebaran di lautan luasmu…
Di sini…di garis khatulistiwa ini…
Nusantara-ku bagai sorga impian segala insan…
Dihuni beribu suku…beratus bahasa….beraneka budaya…
Mereka hidup rukun dan santun…
tersenyum ramah bertutur sapa…
Saling tolong menolong, bahu membahu dan bertenggang rasa…
Meski beda tapi saling menerima…
Ah betapa anggunnya sang Bunda Nusantara…
Tapi tiba-tiba bayang hitam melanda…
si angkara murka merajalela…
Dengan beringas mereka menggagahi Ibu Pertiwi…
Memagut hati yang suci…
Mereka menghunus pedang meradang menantang perang…
Dentum meriam menghujam…
Desu mesiu menyerbu dari segala penjuru…
Peluru-peluru asing berdesing ….
Menembus ulu hati…merobek urat nadi…
Mayat pun bergelimpangan jalanan…
Darah merah bersimbah di tanah….
Rintihan pedih menahan kesakitan…
Derita menimpa tiada tara…
350 tahun Saudara-saudara,…
Isi perut bumi ini dikeruk dihabisi…
Dijarah dibawa ke negeri mereka yang kaya raya…
Mereka tak peduli pada nasib bangsa ini…
Kami mengeluh dalam peluh:
“Kami tak diberi makan nasi…yang ada hanya singkong dan ubi…
Kami di beri baju karung goni…tapi mereka berdasi dan bergengsi…
Mereka duduk ongkang-ongkang kaki…Mabuk Wisky bersloki-sloki…
Sementara kami, mesti kerja Rodi… tak peduli malam hari…
Penuhi obsesi dan mimpi-mimpin arogansi mereka sendiri…
Dari Anyer sampai panarukan….
Nyawa kami menjadi taruhan…
Dari Kerawang sampai Bekasi…
Mayat kami berjatuhan…
Bau amis darah kami menyengat hidung harga diri…
Tapi kami tak berdaya…
Kami dibilang bodoh…miskin…tak berakal budi …
Kami tak punya senjata melawan mereka…
Mereka terlalu kuat …Hebat…
Kami hanya seperti cacing yang dengan mudahnya diinjak sepatu serdadu…
Kami hanya menyerah pasrah diri…
Terserah pada para penjajah…
Sementara ada di antara kami yang menjilat-njilat jidat penjajah…
Mereka berkhianat demi rasa hormat dan martabat…
Mereka tanggalkan kain sarung, sorjan, ulos, blangkon dan atribut asli negeri ini…
Mereka ganti dengan baju dan celana Belanda…
Mereka nampak gagah dan berlagak pongah…
Sorot matanya menghina anak bangsa…
Demi sekeping Golden…mereka menginjak kaki bangsa sendiri…
Kami pun mulai muak memandangi tingkah munafik mereka…
Meski nyiur masih melambai di pantai yang permai…
Semerbak harum Mawar Melati menghibur hati
Namun baunya bercampur amis bangkai tak terhitung…
Kami hanya bisa mengurut dada seraya mengucap doa:
“Duh Gusti, kapankah semua ini akan diakhiri…???”
Malam makin kelam…Mendung tetap menggelantung…
Seakan tak ada secercah harapan…
Situasi mati…suara hati berbisik “Terima saja takdirmu di sini…”
Tapi, tiba-tiba seberkas cahaya memancar menembus kegelapan…
Ketika seorang anak muda angkat bicara….
Pemuda itu masih berusia 20 tahun….
Dia tegang. Perutnya mulas….
Di belakang tukang sate,
dia mengamati kawan-kawannya,
yang menurutnya banyak lagaknya,
tak mau pakai penutup kepala karena ingin seperti orang Barat.
Dia harus menampakkan diri dalam rapat jong Java itu, di Surabaya, Juni 1921.
Tapi dia masih ragu. Dia berdebat dengan dirinya sendiri.
“Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin?” tanyanya dalam hati.
“Aku seorang pemimpin” jawabnya pula kepada dirinya sendiri.
“Kalau begitu, buktikanlah,” tuntut batinnya lagi.
“Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuklah ke ruang rapat…Sekarang!”
Setiap orang ternganga melihatnya tanpa bicara.
Mereka, kaum intelegensia, membenci pemakaian blangkon, sarung dan peci karena dianggap cara berpakaian kaum lebih rendah.
Dia pun memecah kesunyian dengan berbicara:
“…Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka…”
Anak muda itu menyebut ‘peci’ sebagai “ciri khas saya…simbol nasionalisme kami” …untuk menunjukkan kesetaraan antara bangsa Indonesia (terjajah) dan Belanda (penjajah). Peci menjadi semacam ‘Identitas Kebangsaan’.
Di kemudian hari pemuda cerdas dan pemberani itu menjadi Presiden Republik Indonesia yang Pertama, dialah Ir. Soekarno. Dia telah menang melawan dirinya sendiri, dan telah memenangkan hati kawan-kawan seperjuangannya, serta telah menghantar kita ke depan pintu gerbang kemerdekaan kita.
Segeralah menggema kebulatan tekad sepenuh hati…
Para pemuda-pemudi bersatu padu…
Mengucap “Sumpah Pemuda” …
Kami mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia
Kami mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia…
Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia…
Semangat kebangsaan pun menggelora…
Mendidihkan darah Perjuangan …
Bertekad melawan penjajahan meski mati demi negeri…
Deru mesiu tak lagi menakutkan…
Dentuman meriam dibalas teriakan “Merdeka…!!!”
Setiap peluru berdesing dibalas dengan hujaman bambo runcing…
Perang gerilya menggelora dimana-mana …
Setiap tetesan darah semakin mengobarkan perjuangan…
Musuh kocar-kacir…terdesak mundur…
Akhirnya menyerah kalah….
Jumat, 17 Agustus 1945 jam 10.00 WIB
Sang Saka Merah Putih Berkibar…
Lagu Indonesia Raya menggema…
Berdirilah Sang Proklamator atas nama bangsa Indonesia
Dengan berwibawa ia mendeklarasikan…
“P R O K L A M A S I….”
Bertempik soraklah seluruh rakyat Indonesia dengan teriakan “MERDEKA…MERDEKA…”
Anak-anakku,
Kutitipkan negeri ini kepadamu..
“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”
Jadilah bangsa yang besar…
Biarkan Indonesia makin Tangguh…
Biarkan Indonesia makin Tumbuh…
Syukuri negeri yang “gemah ripah loh jinawi ini…”
Syukuri kemerdekaan yang dianugerahkan Tuhan kepada kita…
Syukuri kebersamaan dalam kepelbagaian yang indah…
Syukuri ada gereja di negeri ini…
Terus berkaryalah bagi Tuhan, sesama, dan negeri ini…
Biarkan Cahaya Kristus bersinar hingga Ia datang Kembali…
Kota Wisata Batu,
18 Agustus 2021,
13.01 WIB
G. Sudarmanto.